Setelah kejadian bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya di tiga lokasi yang berbeda tepatnya Gereja, dengan banyaknya korban jiwa akibat serangan tersebut, data yang dilansir 13 orang meninggal dan 43 orang luka-luka. Kembali terjadi bom susulan di Rusunawa Sidoarjo yang memakan 6 korban. Perbuatan ini adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh agama apapun, dan menimbulkan keresahan dimasyarakat.
Pelaku yang diidentifikasi diketahui adalah satu keluarga dengan sepasang suami istri dan keempat anaknya yang ikut melakukan aksi teror tidak terpuji tersebut. Sejatinya perbuatan yang tidak dibenarkan ini melibatkan anak-anak, yang seharusnya menjadi penerus tegaknya Bangsa. Hari inipun terulang kembali dengan bom susulan di Mapolrestasbes di didepan pintu masuk, saat pemeriksaan sebuah mobil meledak dan memakan 4 orang polisi serta 6 korban masyarakat sipil.
Beragam duka dan empati disampaikan oleh banyak instansi dan ormas atas kejadian ini, dengan ekspektasi tidak akan terulang kembali. Akan tetapi, ada-ada saja orang-orang yang menanggapi bahwa kejadian teror ini adalah sebuah rekayasa, seperti pengalihan isu dollar naik, pengalihan pergantian presiden dan lain sebagainya. Sehingga seorang Prof. Mahfud MD mengecam para netizen tersebut, bahwa mereka tidak memiliki empati dan berhati srigala.
Seorang ulama kontemporer Amin al Khully, beliau mengatakan manakala suatu pemikiran (ideologi) menemukan ruang kosong dan masuk ke dalam otak seseorang, maka ia akan menetap kokoh di sana, sehingga amat sulit untuk lepas dari akalnya betapapun nyata-nyata salah/palsu. Sehingga ruang ekstremitas mampu merasuki jiwa seseorang dan akan selalu mengganggu keseimbangan diri dan ruang sosial.
Kemudian Guruku mengatakan bahwa memahami teks syari’at saja membuat orang menjadi berpikir radikal, memahami tujuan-tujuan syari’at saja membuat orang cenderung berpikir liberal. Maka, yang benar jalan tengah (moderat) adalah memadukan antara teks syari’at dan maqashidus syari’at (tujuan-tujuan syari’at). Sehingga, refleksi dari moderat adalah memperhatikan konteks, sebelum memutuskan sebuah hukum. Islam moderat diperkuat untuk menangkal Islam transnasional, dikarenakan segala karakternya tersebut tidak sesuai dan cocok dengan kondisi yang ada di Indonesia.
Pada sisi lain, Prof. Jendral Tito Karnavian meminta support DPR, agar segera menyelesaikan revisi UU antiterorisme. Alasannya, mereka bisa menidentifikasi eksistensi sel-sel JAD atau JAT, akan tetapi mereka tidak bisa ditindak. Dikarenakan mereka baru bisa bertindak, jika mereka melakukan aksi atau sudah jelas ada barang bukti. Kemudian bukan hanya itu, Polri ingin lebih dari itu, misalnya, negara atau institusi hukum menetapkan JAD dan JAT sebagai organisasi teroris.
Oleh karena itu, berpikirlah yang positif dan bijak dalam memahami konteks sosial yang terjadi, nyawa seseorang tidak bisa ditebus dengan nilai uang ataupun segenggam kekuasaan. Empati, support dan do’a masyarakat untuk terus melawan tindakan teror senantiasa menjadi bagian yang tak terpisahkan sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Juga Negara butuh power yang lebih, yaitu peraturan untuk menindak kejahatan brutal dan keji, yaitu dengan adanya UU Anti Terorisme, jika Legislatif delay respon, maka Perppu lah yang diharapkan.
Tulisan 3 tahun lalu.
Sumber FP FB : Selasar Kang Syahrial
Link : https://www.facebook.com/2203276686610170/posts/2936886466582518/